Advertisement
a. Perlawanan Mataram (Perlawanan
Sultan Agung)
Sultan Agung mengadakan
penyerangan ke Batavia pertama kali pada tahun 1628. Pasukan pertama dipimpin
oleh Tumenggung Bahurekso. Adapun pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung
Agul-Agul, Kyai Dipati Mandurorejo, Kyai Dipati Upusonto, dan Dipati Ukur.
Namun serangan tersebut mengalami kekalahan. Kegagalan serangan pertama tidak
mengendorkan semangat melawan Belanda. Sultan Agung menyusun kembali kekuatan
untuk melakukan serangan kedua dengan matang dan cermat. Pada Tahun 1629 Sultan
Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya di bawah pimpinan Dipati
Puger dan Dipati Purbaya. Serangan kedua juga mengalami kegagalan, sebab
persiapan Sultan Agung telah diketahui oleh VOC, gudang-gudang persiapan makanan
Sultan Agung dibakar oleh VOC.
b) Banten melawan VOC
Banten mencapai puncak
kejayaannya pada masa pemerintahan Abdul Fatah yang dikenal dengan nama Sultan
Ageng Tirtayasa (1650–1682). Sultan Ageng Tirtayasa mengadakan perlawanan
terhadap VOC (1651), karena menghalang-halangi perdagangan di Banten. VOC dalam
menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa menggunakan politik devide et impera, yaitu
mengadu domba antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya yang bernama Sultan
Haji yang dibantu oleh VOC. Dalam pertempuran ini Sultan Ageng Tirtayasa
terdesak dan ditangkap. Kemudian Sultan Haji (putera Sultan Agung Tirtayasa)
diangkat menjadi Sultan menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa.
c) Makassar melawan VOC
Makassar berkembang pesat dan
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654–1659).
Sultan Hasanuddin menolak monopoli yang dilakukan oleh VOC, sehingga terjadilah
perang dengan VOC. Dalam perang ini VOC melaksanakan politik devide et impera,
yaitu mengadu domba antara Sultan Hasanuddin dengan Aru Palaka (Raja Bone). Akhirnya,
pada waktu itu Sultan Hasanudin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya
(1667) yang isinya:
a) Makassar mengakui kekuasaan
VOC.
b) VOC memegang monopoli
perdagangan di Makassar.
c) Aru Palaka dijadikan Raja
Bone.
d) Makassar harus melepaskan
Bugis dan Bone.
e) Makassar harus membayar biaya
perang VOC.
Karena kegigihannya melawan VOC,
Sultan Hasanuddin dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”.
d. Perlawanan Rakyat Maluku
(1817)
Pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, monopoli di Maluku terus dijalankan. Beban rakyat semakin
berat. Tindakan pemerintah Hindia Belanda tersebut semakin menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan terhadap rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan
rakyat. Perlawanan rakyat Maluku tahun 1817, dipimpin oleh Thomas Matulesi. Ia
dijuluki Pattimura. Tokoh-tokoh dalam pelawanan ini antara lain;: Christina
Martha Tiahahu, Anthon Rhebok, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina. Pada
awalnya pasukan Belanda dapat dihancurkan oleh para pejuang Maluku. Kemenangan
rakyat Maluku semakin menggelorakan masyarakat di berbagai daerah untuk terus
berjuang mengusir Belanda, seperti di Seram, Arnbon, Hitu, Haruku, dan Larike.
Namun sayang, setelah Belanda mengirim bantuan lebih besar dengan disertai
kapalkapal sewaan dari Inggris dan persenjataan yang lebih lengkap, perlawanan
ini akhirnya dapat dipatahkan.
e) Perlawanan Diponegoro
(1825–1830)
Perang Diponegoro mulai meletus
di Tegalrejo, Jogjakarta dan meluas hampir ke seluruh Jawa. Bupati-bupati yang
ada di bawah pengaruh Mataram ikut menyatakan perang terhadap Belanda. Maka
perang Diponegoro sering disebut perang Jawa.
Sebab-sebab umum Perang
Diponegoro:
a) Penderitaan rakyat sangat
berat karena adanya bermacam-macam pajak.
b) Raja dan kalangan istana benci
kepada Belanda karena wilayah Mataram makin dipersempit.
c) Ulama kecewa karena peradaban
Barat mulai memasuki kalangan Islam.
d) Bangsawan kecewa karena tidak
boleh menyewakan tanahnya.
e) Belanda ikut campur dalam
urusan pemerintahan.
Adapun sebab-sebab khusus perang
Diponegoro adalah rencana pembuatan jalan yang melintasi tanah makam leluhur pengeran
Diponegoro tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Pangeran Diponegoro. Dalam
perang ini Belanda menggunakan siasat benteng stelsel dalam melumpuhkan perlawanan
Pangeran Diponegoro. Tujuan dari sistem benteng stelsel adalah:
- Mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.
- Memecah belah pasukan Diponegoro.
- Mencegah masuknya bantuan untuk pasukan Diponegoro.
- Bagi Belanda sendiri dapat memperlancar hubungan antar Belanda jika mendapat serangan dari pasukan Diponegoro.
- Memperlemah pasukan Diponegoro.
Pada tahun 1830 Belanda
mengadakan tipu muslihat dengan mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding. Dalam
perundingan itu Pangeran Diponegoro ditangkap. Setelah ditangkap Pangeran
Diponegoro dibawa ke Semarang, kemudian diasingkan ke Batavia/Jakarta. Pada
tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Manado, dan pada tahun
1834 dipindahkan ke Makassar dan wafat di Makassar pada tanggal 8 Januari 1855.
f) Perang Padri (1821–1837)
Pada abad ke-19 Islam berkembang
pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh Islam berusaha menjalankan ajaran Islam
sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan mereka kemudian dinamakan gerakan Padri.
Gerakan ini bertujuan memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan
mereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan
ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat. Pada perang tersebut kaum
adat terdesak, kemudian minta bantuan Belanda.
Sebab umum terjadinya perang
Padri adalah :
a) Pertentangan antara kaum Padri
dan kaum adat.
b) Belanda membantu kaum adat.
Perang yang terjadi dapat dibagi
menjadi dua tahap.
a) Tahap pertama (1821–1825)
Pada tahap ini, peperangan
terjadi antara kaum Padri dan kaum adat yang dibantu oleh Belanda. Menghadapi
Belanda yang bersenjata lengkap, kaum Padri menggunakan siasat gerilya. Kedudukan
Belanda makin sulit, kemudian membujuk kaum Padri untuk berdamai. Pada tanggal
15 Nopember 1825 di Padang diadakan perjanjian perdamaian dan tentara Belanda
ditarik dari Sumatra dan dipusatkan untuk menumpas perlawanan Diponegoro di
Jawa.
b) Tahap kedua (1830–1837)
Setelah perang Diponegoro selesai,
Belanda mulai melanggar perjanjian dan perang Padri berkobar kembali. Pada
perang ini, kaum Padri dan kaum adat bersatu melawan Belanda. Mula-mula kaum Padri mendapat
banyak kemenangan. Pada tahun 1834 Belanda mengerahkan pasukan untuk menggempur
pusat pertahanan kaum Padri di Bonjol. Pada tanggal 25 Oktober 1837, Tuanku
Imam Bonjol tertangkap, kemudian diasingkan di Minahasa sampai wafatnya.
0 Response to "Perang melawan pemerintah kolonial Belanda"
Post a Comment