Perjuangan Merebut Irian Barat

Advertisement

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus sampai 2 September 1949, salah satu keputusan dalam konferensi tersebut antara lain bahwa masalah Irian Barat akan dibicarakan antara Indonesia dengan Belanda satu tahun setelah Pengakuan Kedaulatan. Dalam perjuangan merebut Irian Barat terjadi perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda. Pihak Indonesia menafsirkan bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Tetapi pihak Belanda menafsirkan hanya akan merundingkan saja masalah Irian Barat. Dalam perjalanan waktu, Belanda tidak mau membicarakan masalah Irian Barat dengan Indonesia. Untuk menghadapi sikap Belanda tersebut maka Indonesia melakukan berbagai upaya untuk merebut kembali Irian Barat dengan berbagai cara sebagai berikut :
 
Perjuangan Melalui Jalan Diplomasi
Dalam menghadapi masalah Irian Barat tersebut Indonesia mula-mula melakukan upaya damai, yakni melalui diplomasi bilateral dalam lingkungan ikatan Uni Indonesia-Belanda. Akan tetapi usaha-usaha melalui meja perundingan secara bilateral ini selalu mengalami kegagalan. Sejak tahun 1954 masalah Irian Barat ini selalu dibawa dalam acara Sidang Majelis Umum PBB, namun upaya ini pun tidak memperoleh tanggapan yang positif. Setelah upaya-upaya diplomasi tidak mencapai hasil maka pemerintah mengambil sikap yang lebih keras yakni membatalkan Uni Indonesia-Belanda dan diikuti pembatalan secara sepihak persetujuan KMB oleh Indonesia pada tahun 1956.

Berbagai upaya yang dilakukan Indonesia tersebut sampai tahun 1957 ternyata belum membawa hasil sehingga Belanda tetap menduduki Irian Barat. Karena jalan damai yang ditempuh belum membawa hasil maka sejak itu perjuangan ditingkatkan dengan melakukan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di seluruh tanah air Indonesia yang dimulai dengan pengambilalihan perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang diambilalih oleh bangsa Indonesia pada bulan Desember 1957 tersebut antara lain Nederlandsche Handel Maatschappij N.V. (sekarang menjadi Bank Dagang Negara), bank Escompto di Jakarta serta Perusahaan Philips dan KLM.

Pada tanggal 17 Agustus 1960, Indonesia memutuskan hubungan diplomatic dengan pemerintah Belanda. Sehubungan dengan masalah Irian Barat, Presiden Soekarno berpidato di depan Sidang Umum PBB pada tahun 1960. Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyatakan: “Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguhsungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun telah mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternative lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”

Melihat hubungan yang tegang antara Indonesia dengan Belanda ini maka dalam Sidang Umum PBB tahun 1961 kembali masalah ini diperdebatkan. Pada waktu terjadi ketegangan Indonesia dengan Belanda, Sekretaris Jenderal PBB U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker untuk mengajukan usul penyelesaian masalah Irian Barat. Pada bulan Maret 1962 Ellsworth Bunker mengusulkan agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia yang dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun. Akhirnya Indonesia menyetujui usul Bunker tersebut dengan catatan agar waktu dua tahun itu diperpendek. Sebaliknya Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau melepaskan Irian bahkan membentuk negara “Boneka” Papua.
 
Perjuangan Melalui Kekuatan Militer
Dengan sikap Belanda tersebut maka tindakan bangsa Indonesia dari politik konfrontasi ekonomi ditingkatkan menjadi konfrontasi segala bidang. Oleh karena itu pemerintah segera mengambil tindakan guna membebaskan Irian Barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno dalam suatu rapat raksasa di Yogyakarta mengeluarkan komando yang terkenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora) yang isinya sebagai berikut.
  • Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
  • Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
  • Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan dikeluarkannya Trikora maka mulailah konfrontasi total terhadap Belanda dan pada bulan Januari 1962 pemerintah membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Adapun tugas pokok dari Komando Mandala Pembebasan Irian Barat ini adalah pengembangan operasi-operasi militer dengan tujuan pengembalian wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan negara Republik Indonesia. Sebagai Panglima Komando Mandala adalah Mayor Jenderal Soeharto.

Adapun operasi-operasi yang direncanakan Komando Mandala di Irian Barat dibagi dalam tiga fase, yakni sebagai berikut.
  1. Fase Infiltrasi (sampai akhir 1962) Memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaran- sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto. Kesatuan-kesatuan ini harus dapat mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat dalam perjuangan fisik untuk membebaskan wilayah tersebut.
  2. Fase Eksploitasi (mulai awal 1963) Mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
  3. Fase Konsolidasi (awal 1964) Menegakkan kekuasaan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Selanjutnya antara bulan Maret sampai Agustus 1962 Komando Mandala melakukan operasi-operasi pendaratan baik melalui laut maupun udara. Beberapa operasi tersebut adalah Operasi Banteng di Fak-Fak dan Kaimana. Operasi Srigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga di Merauke, serta Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke. Selain itu juga direncanakan serangan terbuka merebut Irian Barat dengan Operasi Jayawijaya. Kehadiran para sukarelawan Indonesia di bumi Irian Barat mendatangkan tekanan kepada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda setuju menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia secara bertahap. Untuk menyusun proses penyerahan, perlu dilaksanakan perjanjian untuk itu  pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York, bertempat di Markas Besar PBB. Perjanjian ini terkenal dengan Perjanjian New York. Adapun isi Perjanjian New York adalah sebagai berikut.
  1. Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.
  2. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.
  3. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.
  4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.
  5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Penyerahan Kekuasaan dari PBB kepada Indonesia
Sesuai dengan keputusan Perjanjian New York, mulai tanggal 1 Oktober 1962, kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir. Untuk sementara waktu mulai tanggal 1 Oktober 1962 - 1 Mei 1963, Irian Barat berada di bawah pengawasan pemerintahan sementara PBB. Pemerintahan sementara PBB di Irian Barat ini disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Negara-negara yang terlibat dalam UNTEA adalah Belgia, Amerika Serikat, dan Australia. Mulai tanggal 31 Desember 1962, Bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera PBB. Sementara itu, bendera Belanda diturunkan. Dengan kembalinya Irian Barat kepada Indonesia maka Komando Mandala dibubarkan dan sebagai operasi terakhir adalah Operasi Wisnumurti yang bertugas menjaga keamanan dalam penyerahan kekuasaan pemerintahan di Irian Barat dari UNTEA kepada Indonesia.

Sesuai dengan Perjanjian New York juga, pada tahun 1969 pemerintah RI mengadakan Pepera (penentuan pendapat rakyat). Melalui Pepera ini, rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk memilih: tetap bersatu dengan RI atau merdeka. Hasil dari Pepera yang memutuskan secara bulat bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Republik Indonesia. Hasil Pepera ini membuka jalan bagi persahabatan RI-Belanda. Lebih-lebih setelah tahun 1965, hubungan RI-Belanda sangat akrab dan banyak sekali bantuan dari Belanda kepada Indonesia baik melalui IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia) atau di luarnya. Akhirnya Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969 menyetujui hasil- hasil Pepera tersebut sehingga perjuangan merebut Irian Barat berhasil, sehingga Irian Barat tetap merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.

0 Response to "Perjuangan Merebut Irian Barat"

Post a Comment